TV online streaming

Nonton TV online
di uheababil.blogspot.com ..
N.B : If you not installed FlashPlayer, click here to download.




Channel Tv Mancanegara :

Channel Sctv,Trans 7,Trans tv,Indosiar,dll : Channel Tvone : Channel ANTV : Channel Metro TV

Kronologi sejarah Sunda


Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.
Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh, Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banten, dll.
Kronologi Sejarah Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.


Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut: “Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).

Sejarah
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar. Kurang lebih adalah Kotamadya Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Kerajaan kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.

Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah.

Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.

Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali.
Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rarkyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rarkyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.

Rahyang Tamperan / RARKYAN PANARABAN berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.

Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang.

Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).

Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).

Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh RAKRYAN WUWUS (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.

Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.

Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). RAKRYAN KAMUNINGGADING menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916).

RAKRYAN JAYAGIRI berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942.

Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).

Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).

Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.

Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.

Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memperlihatkan ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Prabu Guru Aji Putih memiliki putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.

Pemerintahan berdaulat

Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri, julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.

Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Beliau menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).

Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman - Linggawarman, 150 - 669).
0. Dewawarman I - VIII, 150 - 362
1. Jayasingawarman, 358-382
2. Dharmayawarman, 382-395
3. Purnawarman, 395-434
4. Wisnuwarman, 434-455
5. Indrawarman, 455-515
6. Candrawarman, 515-535
7. Suryawarman, 535-561
8. Kertawarman, 561-628
9. Sudhawarman, 628-639
10. Hariwangsawarman, 639-640
11. Nagajayawarman, 640-666
12. Linggawarman, 666-669

Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Sumber:
- Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.
- Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000
- Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.

http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=15&Itemid=26

Balita yang hampir menyamai IQ Albert Einstein


A little bit special: Four-year-old Heidi Hankins has an IQ of 159, just one point below Stephen Hawking and Albert Einstein
A little bit special: Four-year-old Heidi Hankins has an IQ of 159, just one point below Stephen Hawking and Albert Einstein

Inggris, Sudah tidak diragukan lagi kecerdasan yang dimiliki oleh fisikawan Albert Einstein dan Stephen Hawking. Dua fisikawan hebat ini memiliki IQ (Intelligence Quotient) sangat tinggi. Namun di usia yang masih balita, seorang anak memiliki IQ yang hampir menyamaikan Einstein dan Hawking. Siapa dia?

Balita itu adalah Heidi Hankins (4 tahun). Pada usia 2 tahun, Heidi sudah pandai berhitung, menggambar orang, membaca puisi dan membaca buku yang seharusnya diberikan pada anak usia 7 tahun.

Sekarang di usia 4 tahun yang tergolong masih balita, Heidi memiliki tingkat kecerdasaran atau IQ sebesar 159, hanya satu angka di bawah IQ yang dimiliki Albert Einstein dan Stephen Hawking yaitu 160.

Heidi Hankins pun kini menjadi salah satu anggota termuda Mensa, organisasi dunia untuk orang-orang yang mempunyai IQ tinggi.

Ayahnya Dr Matthew Hankins (47 tahun) adalah seorang dosen di University of Southampton dan ibunya Sophy (43 tahun) seorang seniman. Kedua orangtua berharap putrinya dapat melewati tahun ajaran yang sudah dimulai sejak bulan September.

"Kami selalu berpikir Heidi sangat cerdas karena dia sudah membaca sejak kecil. Saya ingin tahu tentang IQ-nya. Saya memberinya sepaket buku Oxford Reading Tree saat ia berusia 2 tahun dan ia membacanya dalam waktu 1 jam. Itu yang seharusnya Anda harapkan pada anak usia 7 tahun," ujar ayahnya Dr Matthew, yang berasal dari Winchester, Hampshire, Inggris, seperti dilansirDailymail, Jumat (13/4/2012).

Menurut Dr Matthew, Heidi sudah membuat suara-suara dan mencoba untuk berbicara secara jelas sejak ia dilahirkan dan pada usia 1 tahun kosakatanya sudah cukup baik.

"Ia menggunakan kalimat lengkap segera setelah ia mulai berbicara," lanjut ayahnya.

Heidi pun sudah bisa menggambar putri dan binatang pada usia 14 bulan, usia ketika kebanyakan anak hanya bisa mencoret-coret kertas. Pada usia 18 bulan, keluarganya pun mengajarkannya untuk membaca.

Secara fisik, Heidi pun lebih tinggi dari teman-teman sekelasnya. Tinggi badannya sekarang 116 cm, hampir mendekati tinggi anak usia 6 tahun.

"Heidi benar-benar berkembang lebih cepat daripada anak-anak lain secara akademis, artistik dan fisik. Kami tidak mendorong Heidi sama sekali. Dia telah menguasai semuanya sendiri dan mengajarkan dirinya sendiri," tutur Dr Matthew.

Menurut orangtuanya, Heidi tidak dewasa sebelum waktunya. Ia hanyalah gadis kecil yang suka Barbie dan Lego, tetapi kemudian Anda akan menemukannya sedang duduk dan membaca buku.

Skor IQ dewasa rata-rata adalah 100, sementara orang yang 'berbakat' akan memiliki skor IQ 130.

"Orangtua Heidi mengidentifikasi dengan benar bahwa Heidi menunjukkan potensi besar," jelas John Stevenage, kepala eksekutif British Mensa.



German-born American physicist Albert Einstein Professor Stephen Hawking Dim by comparison: TV mathematician Carol Vorderman IQ is 'only' 154
Good company: (L-R) legendary physicist Albert Einstein and Professor Stephen Hawking both have IQs only one point higher than Heidi ay 160 while TV mathematician Carol Vorderman's is 'only' 154






sumber :http://health.detik.com/read/2012/04/13/100157/1891527/1301/balita-genius-yang-punya-iq-hampir-menyamai-albert-einstein?991104topnews

Inilah 3 warisan Rasulullah SAW


Oleh: Ali Akbar bin Agil

NYARIS tidak ada satupun manusia yang tidak ingin memperoleh warisan harta duniawi. Harta warisan dari orangtua memang sangat menggiurkan. Keadaan seperti itu dialami juga oleh orang-orang yang hidup tidak lama sepeninggal Nabi Muhammad Shallahu `alaihi wa Sallam.

Pada suatu pagi, Abu Hurairah Radhiyallahu `anhu pergi ke sebuah pasar. Di situ beliau melihat sebagian orang tenggelam dalam aktivitas bisnis. Mereka asyik melakukan transaksi jual-beli. Melihat hal itu, Abu Hurairah ingin mengingatkan mereka agar tidak terjebak dalam masalah duniawai melupakan aspek ukhrawi.
Bolehlah dunia dicari namun akhirat jangan lupa untuk diburu.
Abu Hurairah berkata, “Wahai penghuni pasar, alangkah lemahnya kalian.”
Mereka bertanya penasaran, “Apa maksudmu, wahai Abu Hurairah?”
“Itu warisan Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam sedang dibagikan sementara kalian masih di sini. Mengapa kalian tidak pergi ke sana untuk mengambil jatah kalian darinya?”
“Di mana?” Abu Hurairah menjawab: “Di masjid.” Maka mereka keluar dengan cepat. Abu Hurairah berdiri menjaga barang mereka sampai mereka kembali. Setelah para penghuni kembali dari masjid, Abu Hurairah bertanya, “Ada apa dengan kalian?”
Mereka menjawab, “Wahai Abu Hurairah, kami telah datang ke masjid, kami masuk ke dalamnya tapi tidak ada yang dibagi.”
Abu Hurairah bertanya, “Apa kalian tidak melihat seseorang di masjid?” Mereka menjawab, “Kami melihat orang-orang yang shalat, membaca Al-Qur’an, dan orang yang mempelajari halal-haram.”
Abu Hurairah berkata, “Celaka kalian, itulah warisan Muhammad Shallahu `alaihi wa Sallam.”

***

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Al-Awsath ini memberikan banyak pelajaran berharga tentang pentingnya memburu warisan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallahu `alaihi wa Sallam.

Bukan harta benda, uang, kendaraan mewah, rumah megah, gemerincing uang dinar yang menjadi warisan. Warisan yang ada jauh lebih abadi, berlaku sepanjang masa, itulah warisan berupa mengerjakan shalat, membaca Al Qur`an, dan mempelajari halal-haram.

Warisan pertama adalah shalat. Shalat merupakan tiang agama. Shalat menjadi amal yang pertama kali diaudit oleh Allah. Ia menjadi amal yang dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Manakala shalat kita baik, amal ibadah selanjutnya akan menjadi baik. Sebaliknya, ketika amal shalat kita terpuruk, berlubang di waktu-waktu dalam hayat kita, seperti itulah konsekuensi amal lainnya, minus dan penuh kecacatan.

Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam menggambarkan seorang mukmin yang menunaikan ibadah shalat wajib seperti orang yang mandi sebanyak lima kali di waktu pagi, siang, petang, dan malam. Ia selalu berada dalam kebersihan, bersih dari noda dan kotoran, dosa-dosanya rontok bersama iringan bacaan dan gerakan shalatnya.

Kedudukan shalat menjadi semakin penting saja, saat perintah pelaksanaannya disampaikan langsung oleh Allah Subhanahu Wa Ta`ala kepada Rasul Shallahu `alaihi wa Sallam dalam peristiwa isra`-mi`raj.

Imam Ahmad bin Hajar Al-Haitamiy dalam kitabnya Al-Zawajir mengetengahkan sebuah hadits yang menyebutkan sejumlah kemuliaan bagi yang melaksanakan shalat dan kehinaan bagi yang meninggalkannya.
Secara singkat, dalam hadits yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar tersebut, disebutkan bahwa Allah memberikan 5 kemuliaan pada orang yang melaksanakan shalat:
Pertama. Allah akan angkat kesulitan dari kehidupannya
Kedua. Dilindungi dari azab kubur
Ketiga. Catatan amalnya diberikan di tangan kanannya
Keempat. Melewati jembatan akhirat secepat kilat
Kelima. Masuk surga tanpa hisab.
Masih dalam hadits yang sama, ada 15 kehinaan bagi orang yang meremehkan shalat terdiri dari 6 kehinaan di dunia, 3 saat kematian datang, 3 di alam kuburnya, dan 3 saat dibangkitkan dari alam kubur.
6 kehinaan di dunia : Diangkatnya keberkahan dari umurnya, dihapuskannya tanda-tanda kaum shalihin dari wajahnya, setiap perbuatan yang ia kerjakan tidak mendapatkan pahala dari Allah, doanya tidak diangkat ke langit, tidak masuk dalam bagian doa orang-orang shaleh, dan mudah menyimpan kebencian pada orang lain.
3 kehinaan saat datang kematian: mati dalam keadaan hina, meninggal dalam keadaan kelaparan, mati dalam keadaan kehausan meski lautan di dunia diminumkan kepadanya. 3 kehinaan di alam kubur : kuburnya akan menghimpitnya hingga meremukkan tulang-tulangnya, dinyalakan api dalam kuburnya di waktu siang dan malam hari, dan disisipkan ular dalam kuburnya. Sedangkan 3 kehinaan setelah dibangkitkan dari alam kubur adalah: menghadapi hisab (perhitungan) yang sangat berat, mendapatkan murka Allah, dan masuk ke dalam api neraka.
Inilah warisan pertama Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam yang beliau berikan kepada kita. Dalam shalat ada komunikasi dan dialog dengan Tuhan, momentum untuk menumpahkan segala asa dan perasaan, bersimpuh sujud, memohon petunjuk, dan hidayah-Nya. Dinamakan shalat, kata Habib Alwi bin Syahab, karena ia adalah shilah (penghubung) antara seorang hamba dengan Tuhannya. Jika shalatnya terputus, maka hubungan seorang hamba menjadi terputus juga.
Sayangnya, tidak sedikit umat Islam yang meremehkan waktu-waktu shalat yang terwujud dalam sikap dalam menunda melaksanakannya, tidak bersungguh-sungguh, hanya sekadar menggugurkan kewajiban, bahkan sampai pada taraf meninggalkannya. Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan, “Di antara perbuatan yang bisa menyebabkan kematian yang buruk (su`ul khatimah) adalah meninggalkan shalat.”
Warisan kedua Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam adalah membaca Al-Qur`an. Al Qur`an merupakan kitab rujukan utama. Tidak ada satu kitabpun di dunia ini yang lebih indah susunan kata-katanya, jelas dalam memberikan keterangan, mencakup segala aspek, bersih dari tangan-tangan jahil, melebihi Al-Qur`an.
Al Qur`an diturunkan untuk menjadi pedoman dalam hidup. Ia menjadi kitab yang paling banyak diperbincangkan sejak dulu hingga kini. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, membaca Al Qur`an semakin terpinggirkan, kalah riuh oleh kegaduhan musik. Anak-anak kita semakin pandai dan cakap saja dalam melantunkan lirik-lirik lagu bertema ‘pacaran’, bercinta, ajakan kepada maksiat, kegelisahan, putus cinta, dan sebagainya.
Di sisi lain, orangtua lebih sibuk untuk membuat putra-putri mereka sukses di dunia daripada memikirkan kehidupan mereka selepas mereka hidup dunia ini. Al-Qur`an menjadi perhatian hanya di masa bangku sekolah dasar, itupun cukup di TPQ, sementara para orangtua tidak merasa bersalah ketika mereka tidak memberi contoh membaca Qur`an karena ketidakmampuannya.
Selepas Sekolah Dasar, anak-anak tak lagi berhasrat atau tidak dimotivasi untuk memperdalam Al Qur`an. Mereka dikondisikan untuk lebih fokus dengan materi pelajaran yang tidak seimbang antara kebutuhan spiritual dan intelektual. Imam Abu `Amr bin Shalah dalam Fatawa-nya mengatakan bahwa, “Membaca Al Qur`na merupakan sebuah kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan manusia.
Malaikatpun tidak diberi kemuliaan seperti itu, padahal mereka sangat menginginkannya setelah mendengar manusia membacanya.”
Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap muslim untuk mampu membaca, memahami, merenungi, mengamalkan, dan mengajarkan Al-Qur`an. Inilah warisan kedua yang ditinggalkan oleh Rasul Shallahu `alaihi wa Sallam kepada kita, umatnya, agar kita terbimbing dalam jalan kebenaran, tidak terseok-seok dalam kesesatan. Sayidina Abdulah bin Mas`ud Radhiyallahu `anhu pernah berucap, “Jika kalian menginginkan ilmu, maka sebarluaskan Al-Qur`an sebab di dalamnya tersimpan ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.”
Warisan berikutnya adalah mengetahui status halal-haram. Warisan terakhir ini memberi hikmah kepada kita tentang pentingnya mengenal status halal-haramnya suatu barang, makanan, atau perbuatan yang akan kita lakukan. Sayidina Umar bin Khaththab Radhiyallahu `anhu, selaku Amirul Mukminin, pernah berkata kepada seluruh pedagang di pasar kota Madinah, “Tidak ada yang boleh berjualan di pasar kami (yaitu) orang yang belum memiliki ilmu sebab orang yang tidak berilmu ia bisa memakan riba` tanpa menyadarinya.”
Sikap kehati-hatian dalam halal-haram tampak dari sikap Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu `anhu. Suatu hari, usai kembali dari pasar beliau meminum segelas susu. Beliau meminum susu tersebut tanpa curiga sedikitpun tentang asal-usul segelas susu tersebut. Saat itu, pembantu beliau masuk rumah dan menyaksikan tuannya telah menghabiskan segelas susu yang dia letakkan di atas meja, selanjutnya ia berkata, “Ya Tuanku, biasanya sebelum engkau memakan dan meminum sesuatu pasti menanyakan lebih dulu asal-muasal makanan dan minuman tersebut, mengapa sewaktu meminum susu tadi engkau tidak bertanya sedikit pun tapi langsung meminumnya?”
Dengan rasa kaget, Abu Bakar bertanya, “Memangnya susu ini dari mana?”
Pembantunya menjawab, “'Begini, ya Tuanku, pada zaman jahiliyah dulu dan sebelum masuk Islam, saya adalah kahin (dukun) yang menebak nasib seseorang.
Suatu kali setelah saya ramal nasib seorang pelanggan, dia tidak sanggup membayar karena tidak punya uang, tapi dia berjanji suatu saat akan membayar.
Tadi pagi saya bertemu di pasar dan dia memberikan susu itu sebagai bayaran untuk utang yang dulu belum sempat dia bayar.”
Mendengar itu, langsung Abu Bakar memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut dan mengoyang-goyangkan anak lidah agar muntah. Beliau berusaha untuk mengeluarkan susu tersebut dari perutnya, dan tidak ingin sedikit pun tersisa.
Bahkan dalam riwayat itu disebutkan, beliau sampai pingsan karena berusaha memuntahkan seluruh susu yang telanjur beliau minum lalu berkata, “Walaupun saya harus mati karena mengeluarkan susu ini dari perut saya, saya rela. Saya mendengar Rasulullah Shallahu `alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari sumber yang haram maka neraka adalah tempat yang pantas baginya.”
Tidak hanya itu, istri para As-salaf ash-shalih (para pendahulu kita yang baik) bila suaminya keluar dari rumahnya, iapun berpesan, “Jauhi olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi kami tak mampu bersabar atas neraka.”
Ketiga warisan nabi yaitu menunaikan shalat, membaca Al-Qur`an, dan mengatahui hal-hal yang halal dan haram, merupakan warisan yang harus kita jaga dengan sungguh-sungguh. Shalat tepat pada waktunya dengan berjama`ah. Membaca Al Qur`an sesuai tajwid lalu berusaha memahami dan mengamalkannya, dan mengetahui status halal-haram pada suatu barang dengan tepat dan teliti.
Jika warisan duniawi begitu disukai meski bersifat sementara, yang akan sirna seiring berlalunya waktu, maka tiga warisan di atas harus lebih kita utamakan dari masa ke masa, karena ketiga warisan ini akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Penulis adalah Pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad di Malang, Jawa Timur

kisah nyata : Seorang Pramugari dan seorang kakek (sangat mengharukan)




h
Spoiler for kisah yang mengharukan gan:
Saya adalah seorang pramugari biasa dari china Airline. Karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap harinya hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton.
Pada tanggal 17 juni yang lalu saya menjumpai suatu pengalaman yang membuat perubahan pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya. Hari ini jadwal perjalanan kami adalah dari shanghai menuju peking, penumpang sangat penuh pada hari ini.

Diantara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua, dan terlihat jelas sekali gaya desanya. Pada saat itu saya yang berdiri dipintu pesawat menyambut penumpang. Kesan pertama dari pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju, seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.

Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minum, ketika melewati baris 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut, dia duduk dengan tegak dan kaku ditempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung.
Kami menanyakan mau minum apa, dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak, kami hendak membantunya meletakkan karung tua di atas bagasi tempat duduk juga ditolak olehnya, lalu kami membiarkan duduk dengan tenang, menjelang pembagian makanan kami melihat dia duduk dengan tegang ditempat duduknya, kami menawarkan makanan juga ditolak olehnya.
Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit, dengan suara kecil dia menjawab bahwa dia hendak ketoilet tetapi dia takut apakah dipesawat boleh bergerak sembarang, takut merusak barang didalam pesawat.

Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ketoilet, pada saat menyajikan minum yang ke dua kali, kami melihat dia melirik kepenumpang sebelahnya dan menelan ludah, dengan tidak menanyakannya kami meletakkan segelas minuman teh dimeja dia. Ternyata gerakan kami mengejutkannya, dengan terkejut dia mengatakan tidak usah, tidak usah, kami mengatakan engkau sudah haus minumlah, pada saat ini dengan spontan dari sakunya dikeluarkan segenggam uang logam yang disodorkan kepada kami, kami menjelaskan kepadanya minumannya gratis, dia tidak percaya, katanya saat dia dalam perjalanan menuju bandara, merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan dipinggir jalan dia tidak diladeni malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui demi menghemat biaya perjalanan dari desa dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil, karena uang yang dibawa sangat sedikit, hanya dapat meminta minuman kepada penjual makanan dipinggir jalan itupun kebanyakan ditolak dan dianggap sebagai pengemis.

Saat kami membujuk dia terakhir dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh, kami menawarkan makanan tetapi ditolak olehnya. Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua orang putra yang sangat baik, putra sulung sudah bekerja dikota dan yang bungsu sedang kuliah ditingkat 3 di Peking. Anak sulung yang bekerja dikota menjemput kedua orangtuanya untuk tinggal bersama dikota tetapi kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal dikota akhirnya pindah kembali ke desa, sekali ini orangtua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking. Anak sulungnya tidak tega orangtua tersebut naik mobil megitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan menemani bapaknya bersama – sama ke Peking, tetapi ditolak olehnya karena dianggap terlalu boros dan tiket pesawat sangat mahal dia bersikeras dapat pergi sendiri. Akhirnya dengan terpaksa disetujui dengan anaknya.

Dengan merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai oleh anak bungsunya, ketika melewati pemeriksaan keamanan dibandara, dia disuruh menitipkan karung tersebut ditempat bagasi tetapi dia bersikeras membawa sendiri, katanya jika ditaruh ditempat bagasi ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur, akhirnya kami membujuknya meletakkan karung tersebut diatas bagasi tempat duduk, akhirnya dia bersedia dengan hati – hati dia meletakkan karung tersebut.

Saat dalam penerbangan kami terus menambah minuman untuknya, dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus, tetapi dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui sesungguhnya dia sudah sangat lapar, saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan saya apakah ada kantongan kecil ? dan meminta saya meletakkan makanannya dikantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak, dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya, kami semua sangat kaget.

Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa dimata seorang desa menjadi begitu berharga. Dengan menahan lapar disisihkan makanan tersebut demi anaknya, dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang ditaruh didalam suatu kantongan yang akan kami berikan kepada kakek tersebut, tetapi diluar dugaan dia menolak pemberian kami, dia hanya menghendaki bagian dia yang belum dimakan tidak menghendaki yang bukan miliknya sendiri , perbuatan yang tulus tersebut benar – benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Sebenarnya kami menganggap semua hal sudah berlalu, tetapi siapa menduga pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat, sebelum keluar dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, yaitu dia berlutut menyembah kami, mengucap terima kasih bertubi – tubi, dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang yang paling baik yang dijumpai, kami didesa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak. Hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik, saya tidak tau bagaimana mengucap terima kasih kepada kalian.

Semoga tuhan membalas kebaikan kalian, dengan menyembah dan menangis dia mengucapkan perkataannya. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seorang anggota yang bekerja dilapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam – beragam penumpang saya sudah jumpai, yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain – lain, tetapi belum pernah menjumpai orang yang menyembah kami, kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan, hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami mengucapkan terima kasih, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya, perbuatan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya.

Janganlah kalian memandang orang dari penampilan luar, tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat
.

sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=13550427