Showing posts with label culture. Show all posts
Showing posts with label culture. Show all posts

Sejarah Sundaland dan Kerajaan Sunda Nusantara

SEJARAH SUNDALAND & KERAJAAN SUNDA NUSANTARA

Secara geohistoris sekitar 86 juta tahun sebelum masehi, daratan/ dangkalan/ benua SUNDA masih nyatu dengan daratan India (Asia) sampai ke New Guinea (P. Papua). bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan   Kerajaan Maha Raja Sunda yaitu Sunda Nusantara dengan ibukota negara di Salaka Nagara (Bantam/Banten). Kemudian perkembangan Kerajaan Maha Raja Sunda berlajut terus hingga sekitar abad ke-4 yang di kenal dengan nama Kerajaan Maha Raja Sunda Taruma Nagara dan pada saat itu sudah di kenal oleh Kerajaan China (Tingkok) dengan sebutan (lafad) Tiongkok Cina menyebutnya TO LO MO.
Selanjutnya catatan sejarah abad ke-7 (tujuh) menunjukkan bahwa Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara berkembang dan berpusat di Kerajaan Galuh (Ciamis – Jawa Barat), kemudian pada abad ke-13 (tiga belas) pusat pemerintahan dipindahkan dari Galuh ke Pajajaran atau disebut Pakwan (Istana) Pajajaran. Sejak saat itu Kerajaan Maha Raja Sunda di daratan (Benua) Sunda di sebut juga Kerajaan Pajajaran dengan ibukota Pakwan Pajajaran (Bogor – Jawa Barat).
Setelah itu pada sekitar tahun 723 Masehi, pusat Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara bergeser ke arah timur, dengan sebutan Medang Kamulan, yang selanjutnya berkembang dan kelak menjadi Kerajaan Mataram.
Sekitar abad ke-16 (enam belas) wilayah kerajaan (Territory Sovereignty) telah mencakup pula wilayah kesultanan Demak (Jawa Tengah). Pada abad ke-16 ini, Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara telah berkembang lebih-lanjut yakni pada tahun 1513 – 1552 ketika pada masa pemerintahan Maha Raja / Emperor Seri Baginda Maha Raja Kanjeng Susuhunan Gunung Jati, Pusat Kerajaan Maha Raja Sunda, Sunda Nusantara (Sunda Archipelago) ketika itu berkedudukan di Charuban (Cirebon).
Kemudian sejak tahun 1552 pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda diteruskan oleh Sultan Hasanuddin, dengan gelar Emperor Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Majesty Kaiser Kanjeng Susuhunan Maulana Hasanuddin dan pusat pemerintahan bergeser dari Cirebon ke Sunda Kelapa atau Jayakarta (Jakarta sekarang).
Tampuk pimpinan Kemaharajaan Sunda Nusantara berlanjut terus turun-temurun sampai pada tahun 1753 – 1776 dan di pegang oleh Emperor Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Maha Raja Majesty Kanjeng Sultan Abun Nasar Moehammad Arief Zainal Asikin, beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku Buwono I.
Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb, maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malacca (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo.
Pada tahun 1776 tahta Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara selanjutnya di pegang oleh putra tertuanya yakni Emperor Seri Paduka Yang Maha Mulya Baginda Maha Raja Majesty Kaiser Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioedin I, yang memerintah pada sekitar tahun 1776 – 1810 (Kasus Pulau Banda), selain daripada itu pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika mendapat kemerdekaannya dari Kaiser Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioedin I, bukan dari Kerajaan Inggris.
Pada tahun 1810 tampuk pimpinan selanjutnya di pegang oleh Kaiser Kanjeng Sultan Achmad, ketika itu beliau mengundang sahabatnya bernama Thomas Stanford Raffles, seorang Jenderal dari Kerajaan Inggris, untuk bersama-sama melakukan pelayaran ke Sunda Kecil (Pulau Banda) dalam rangka merayakan kemenangan Kemaha-rajaan Sunda Nusantara melawan penyerangan dari pasukan Kerajaan Perancis (thn 1810).
Sesampainya di Pulau Banda, dengan segala kelicikannya, T.S. Raffles membuang (meninggalkan) Sultan Achmad di Pulau Banda. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Perancis yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini.
Melihat perkembangan sejarah bangsa yang cenderung selalu di manipulasi dari waktu ke waktu serta penderitaan sebagian besar rakyat Kemaharajaan Sunda Nusantara, maka menimbang kepada Hukum Internasional yang berlaku berdasarkan:
a). Kongres Vienna Tahun 1815 ;
b). Prinsip Ethiopia Tahun 1938 ;
c). The Internasional Rule of Yalta, 5 Februari 1945 ;
d). Forma Autem Regimitis Mutata, Nox Mutator Ipsa Populus Doktrin Uni Possidetis : Nec VI, Nec Clam, Nec Precario ;
e). Resolusi Internasional Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 (artikel 1,2,3,4,& 5);
f). Prinsip Statute of Limitation (Lost of Limitation)
Maka pada tahun 1976, Pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara.
Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.
Paspor dan identitas diplomatik dari Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlaku diseluruh dunia dan diakui di lembaga-lembaga keuangan dunia hingga saat ini. Para pemegang paspor tersebut disapa Yang Mulia (Your Majesty) oleh para dubes & pejabat kedubes negara Amerika Serikat, Rusia, Belanda, Inggris, Jepang dst.
Kini waktu telah berjalan mundur akankah tarik ulur kebohongan ini akan tetap dipertahankan atau kebangkrutan ekonomi dunia yang memaksa mereka buka mulut tentang siapa pemegang Super Power ekonomi dan kesejahteraan ummat manusia sebenarnya: Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara.

Sejarah Tembang Sunda Cianjuran

Di tempat kelahirannya, Cianjur, sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab.

          SEJARAH TEMBANG CIANJURAN
  • Sekar
            Sekar merupakan seni suara dari vokal manusia (janaswara).  Sekar dibagi menjadi dua golongan utama yang menjadi dua tiangnya seni suara sunda. Seluruh perbendaharaan seni suara termasuk kedalam dua golongan ini. Kedua golongan besar itu adalah Sekar tandak dan Sekar Wirahma merdeka.
            Sekar tandak merupakan jenis lagu yang memiliki irama atau ritme yang tetap (tandak artinya tetap) dalam istilah art barat disebut rhythmical song. Sekar tandak dalam istilah popular disebut kawih. Tembang Cianjuran termasuk kedalam golongan keluarga lagu sekar tandak karena pola lagunya memiliki irama (Wirahma) atau ketukan yang tetap. Sekar tandak biasa dibawakan secara anggana (solo vokal) dan secara rampak sekar (vokal grup). Contoh penyajian sekar tandak misalnya pada Tembang Cianjuran, gending karesmen, panambih pada pupuhsindhenan serta jenis kakawihan lainnya.
            Sekar wirahma merdeka adalah golongan lagu yang tidak memiliki ketukan, berirama bebas tetapi ada aturan panjang-pendek tertentu yang tidak bisa dituliskan dengan sistemtitilaras atau secara pakem dalam karawitan sunda. Penentuan panjang-pendeknya satu nada hanya bisa diajarkan secara lisan verbal atau oral dari seorang guru ke murid. Inilah yang pada dunia seni suara sunda disebut tembang dan di jawa disebut macapat (Natapradja:2003).
            Pada kenyataannya walaupun disebut Tembang Cianjuran namun bukan termasuk kedalam jenis sekar wirahma merdeka . Tembang Cianjuran merupakan golongan sekar tandakatau biasa disebut kawih. Penamaan “tembang” hanyalah lazimnya orang sunda menyebut jeniskawih ini. Jadi, jangan terjebak dengan penamaan “tembang” pada Tembang Cianjuran.


  • Historis Tembang Cianjuran
            Kesenian Tembang Cianjuran telah ada sejak zaman kolonialisme yang datang ke nusantara. Di tempat kelahirannya Cianjur,sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab. Mamaosterbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaosdinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah (kurnia:2003)
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagupapantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864-1910) kesenian mamaosmulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah di antara tokohmamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaoske kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920-1921 & 1935-1942). Ketika mamaosmenyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan Tembang Cianjuran (kurnia:2003).
Pemain kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran terdiri atas: seorang pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu, dan memngiri lagu baik mamaos mamupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang membawakan panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai anggeran wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi lelemah sore (dasar nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu mamaos cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju taqwa, sinjang (dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang (Galba:2007).
Fungsi kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran adalah sebagai hiburan. Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan rohnya (jatidiri kesenian mamaos cianjuran).
Namun dewasa ini kehebatan dan keindahan dari seni Tembang Cianjuran sudah mulai melemah tergerus arus globalisasi. Hal itu tercermin dari kurangnya nara sumber, tingkat apresiasi masyarakat yang semakin kurang dan enggannya generasi muda untuk mempelajarinya karena dianggap sebagai kuno atau kampungan. Mereka lebih menyukai jenis-jenis kesenian kontemporer.
NILAI-NILAI DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN

  • Nasihat dan Doa
Rumpaka dalam istilah Indonesia merupakan teks dari lagu, atau syair-syair dalam lagu. Dalam rumpaka Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai seperti nasihat dan doa. Nasihat dan doa inidilihat dari sudut komunikasi memiliki kemiripan yakniadanya tujuan pengungkapan yang disampaikan pada pendengar. Nasihat adalah harapansupaya isi pesan rumpaka sampai kepada pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan.
Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya ditembangkan oleh sejumlahpenembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam hal ini juru tembang setuju dengan isi rumpakakemudian ingin menyampaikannya kembali kepada pendengar, termasuk pula rumpaka yang berisi doa. Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari rumpaka. Apabila nasihat dilihat dari segi saling menasihati antar-manusia dan permohonan doa disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah religius. Nasihat merupakan
Hablum Minanas dan Doa merupakan Hablum Minallah. Amanat yang disampaikan melalui
lantunan tembang terasa lebih hidmat baik dirasakan oleh penembang maupun didengar oleh
penikmat.
Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam wilayah religius ini
memiliki kedudukan penting pada Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis awal Tembang
Cianjuran adalah Dalem Pancaniti, seorang taat beragama, bahkan ada yang menganggap ”Alima al-alamah (ulama pandai), mencapai Waliyullah ((Su’eb, 1997: 36). Pernyataan tersebut sejalan
dengan keterangan yang disampaikan oleh Dadan Sukandar bahwa sebelum tahun
enampuluhan Tembang Cianjuran mengusung tentang hal keteladanan. Bukti-bukti itu tersirat
pula pada sebuah pada pupuh Sinom Liwung yang diterima oleh R. Bakang Abubakar dari
gurunya pada tahun 1949 sebagai berikut:


Sinom pamekaring rasa
Rasa Suci kang diwincik
racikan ungkara basa
basa pamekaring budi
budi daya nastiti
nutur galuring luluhur
babaran kaelingan
digending dirakit dangding
komaraning daya sastra Kasundaan
(Ischak, 1988: 63)
Sinom pemekar rasa
yang dibahas, Rasa Suci
jalinan bahasa
bahasa pemekar budi
budi yang tangguh karena kehati-hatian
mengikuti jejak leluhur
tentang keimanan
dijadikan tembang digubah dangding
kewibawaan dari kekuatan sasat r
Kasundaan


Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam pupuh ini ada tanda
yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa Suci mengacu kepada Inti Kedirian manusia yang
dianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga Badan Rohani (Lihat dalam Wawacan
Jaka Ula Jaka Uli). Kata kedua yakni babaran kaelingan ’pembahasan tentang keimanan’.
Pengertian eling ’iman’ dalam naskah-naskah ajaran Teosofi Tasawuf adalah Manunggaling
kaula-Gusti. Menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani’ Pupuh ini berceritera tentang
ajaran keimanan yang menuntun manusia ke arah kebahagiaan lahir dan batin. Namun
apabila dihubungkan dengan judul lagu yakni Liwung, tidak sesuai. Dengan demikian
diperkirakan ada lagu pemakai rumpaka ini sesuai isi. Dilihat dari rumpaka di atas, jelaslah
kekuatan dari kesusastraan Sunda pada suatu masa, dilihat dari segi bobot isinya (kalsum:2007)
            rumpaka-rumpaka lain Tembang Cianjuran yang diambil dari rumpaka pupuh yang berisi nasihat serta mengarah pada kebajikan antara lain :


Pucung Degung
Lamun urang boga maksud kudu junun
kahayang jeung prakna
mun sakadar dina hate
eta mubah moal rek aya buktinya.     (Sobirin, 1987: 46)

Apabila bercita-cita sesuatu harus tabah
berkeinginan dengan bekerja
apabila sekadar niat di hati
sia-sia tak akan ada hasilnya


Naratas jalan

Geura bral geura mariang
geura prak naratas jalan
teangan kasugemaan
enggoning keur kumelendang
kumelendang masing yakin
dibarengan kaimanan
yakin kana pamadegan
tangtungan wanda sorangan
tapi poma 2x lain laku kaangkuhan.
Kaangkuhan anu mawa
kana jalan kaambrukan
hirup teh lain sorangan
loba pisan nu marengan
keur urang silih tulungan
lain eukeur pacengkadan
nu taya hartina pisan
nimbulkeun pondok harepan
ilang akal keur ngudag-udagan urang
(Sobirin, 1987: 85)

Silakan berangkatlah
buka jalan
cari kepuasan
selama berkelana
dalam berkelana disertai keyakinan
disertai keimanan
yakin pada pendirian
keyakinan hati nurani
namun janganlah disertai keangkuhan
Keangkuhan membawa
ke jalan kebinasaan
(sadari) hidup tidak sendiri
banyak sekali sesama manusia
untuk saling tolong-menolong
bukan untuk berselisih
yang tak bermanfaat
yang menimbulkan pendek pikiran
kehilangan akal yang akan menyertai kita



Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan kesatuan yang
mendukung pada judul Naratas Jalan ’Membuka Jalan’. Apabila dikaitkan dengan
penggunaan pupuh, ”membuka jalan” pada konteks ini, memiliki makna membuat pijakan
hidup dalam mencari kebahagiaan untuk diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks
Naratas Jalan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani
kehidupan.Rumpaka ini mengemukakan bahwa hidup dengan sesama untuk saling tolong-menolongbukan untuk berselisih. Teks hipogram dalam pupuh Pucung seperti berikut: Utamana jalmakudu rea batur, keur silih tulungan, silih asih silih bere, budi akal lantaran ti pada jalma.
’Yang paling utama orang harus memiliki kawan banyak, untuk saling menolong, saling
memberi, budi dan akal melalui sesama manusia.’(Kalsum:2007).
            Rumpaka-rumpaka diatas merupakan sebagian kecil contoh dari Tembang Cianjuran yang selalu memiliki intisari kebajiakan, nasihat, doa, dan mengajak manusia untuk mencapai kemuliaan. Selain diatas ada pula cirebonan ‘bermakna manusia harus sigap dalam melakukan kebaikan’, ceurik abdi’menceritakan bahwa di dunia semua hal selalu berpasangan’, sinom bungur’mengingatkan pada manusia dalam berkehidupan tidak bisa sewenang-wenang serta egois’, pangrawit’ dalam berkehidupan manusia harus tahu mana yang benar dan yang salah serta selalu menjaga diri’ dan masih banyak rumpaka pupuh lainnya.
            Sudah dapat dipastikan bahwa Tembang Cianjuran sangat mengarah dan mengajarkan manusia sebagai mahkluk yang bermoral. Membimbing kepada kebaikan, saling mendoakan antar sesama, menjaga kelestarian alam, dan permohonan kepada sang pencipta. Hal ini tentunya jarang sekali ditemukan pada teks lagu populer zaman sekarang. Teks dalam gubahan lagu populer kebanyakan menceritakan mengenai realita percintaan anak remaja, putus cinta, perselingkuhan, pengorbanan cinta, pacaran, dan segala sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan remaja zaman sekarang.

Pertunjukan

Sebenarnya yayaya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.
Lagu-lagu dalam wanda papantunan di antaranya PapatatRajamantriMupu KembangRandeganRandegan KendorKaleonManyeuseup,BalagenyatPutri LayarPangapunganRajahGelang GadingCandrawulan, dsb. Sementara dalam wanda jejemplangan di antaranya terdiri dariJemplang PangantenJemplangCidadapJemplang LeumpangJemplang TitiJemplang Pamirig, dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung dan sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di antaranya: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan, Selabintana, Soropongan, dsb.
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat.


Sumber rujukan

Bangkitlah Suku Sunda (Asia Tenggara dulu Sundaland)

Sangat menarik sekali membaca sebuah artikel dari sahabat blogger yang berjudul "Asia Tenggara dulu Sundaland. Urang Sunda bangkit, orang Bali ngeper .." 
Walaupun saya bukan keturunan Sunda asli, namun saya lahir dan gede di Bandung (kebetulan saya sejak kecil sudah dititipkan di sebuah keluarga yang merupakan sunda asli). pokoknya budaya Sunda sudah mendarah daging.
Saya sedikit terkejut membaca artikel tersebut, tiba-tiba semangat saya seperti tersengat, halah lebay..
Oke, kita langsung baca saja artikel dari sahabat blogger kita.




Asia Tenggara dulu Sundaland. Urang Sunda bangkit, orang Bali ngeper ..


Sundaland meliputi wilayah Asia Tenggara sekarang. Ingat kerajaan Tarumanagara yang tersohor seantero Asia Tenggara. Kemana kini kejayaan Ki Sunda ? ( sampai ) Bali mengaku lebih terkenal dari kita. Really ? ( peta : Wikipedia )
Menggelitik mendengar cerita Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Herdiwan Ling Suranta, ketika bercanda dengan Kadisbudpar Bali dan Malaysia. Ternyata orang Malaysia marah besar ketika Selat Malaka diusulkan diubah menjadi Selat Sumatera. Orang Bali marah, Selat Bali diusulkan berubah nama menjadi Selat Jawa ( dengan pertimbangan, Jawa lebih besar dari Bali dan Sumatera lebih besar dari Semenanjung Malaka ( Malaysia dan Singapura )). Bali lebih terkenal dari Indonesia, argumen orang Bali ( anda bisa merasakan sikap mereka jika datang ke sana, terlebih yang berada di strata bawah ).  Wah, kalau begini ( APA ?? Bali lebih terkenal dari Jabar ??? ), Jawa Barat yang someah ( ramah ) mesti bangkit dari tidur panjangnya ( maung sudah waktunya bangun ). Jabar dengan penduduk terbesar di Indonesia, 42 juta dari 235 juta jiwa, wajib bikin ngeper ( ciut )  orang Bali. Caranya ?
Jadikan kota Bandung, ibukota provinsi Jabar ini, etalase produk, kerajinan dan seni tradisi 26 kota/ kabupaten di Jawa Barat. Silakan para warga Jabar ini berpameran di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat ( MPRJB ), Jl.Wirayuda. Gratis ( tapi minta izin dulu, ya ). Keluar provinsi Jabar, promosikan apa pun karya anda sebagai karya orang Jabar. Tidak ada Bandung, Bogor, Cimahi, dst. Yang ada Jabar. Jawa Barat. Bayangkan orang menyebut nama Jawa Barat sampai 26 kali. Top abis. Beken, pasti. Setelah datang ke MPRJB, wisatawan akan tahu lebih detail. O, ini bordir dari Tasikmalaya. O, ini kerajinan kayu dari Cipacing ( kabupaten Sumedang ), dst. Penasaran lebih jauh, rombongan bisa diajak pesiar ke Tasik, Cipacing, dll,  untuk memuaskan rasa ingin tahu dan belanja sepuasnya. Lebih dekat, berinteraksi dengan warga penghasil produk dan budaya tsb. Infrastruktur pariwisata dan produksi, seperti jalan dan moda transportasi, mesti mulus, lancar dan aman. Jangan sampai Jabar dikenali wisatawan karena bis mereka tersandung-sandung ketika melewatinya ( banyak lubang ).
Bandara mesti bisa didarati pesawat berbadan besar ( Airbus, dll ) yang menjadi trend maskapai penerbangan dunia. Warga Majalengka mesti berbesar hati melepas tanah dengan harga yang disepakati semula. Bayangkan jika Jawa Barat punya bandara internasional dan pelabuhan ekspor sendiri ( tidak numpang di Tanjung Priok ). Kisah sedih, gigit jari, tempat menyampah org2 yang lewat, jadi masa lalu. Izinkan Bandara Kertajati terwujud demi kesejahteraan dan kejayaan urang Jabar. Warga Majalengka akan memiliki kebanggaan tersendiri menjadi jalan bagi majunya orang Jabar. Jawa Barat jadi provinsi termaju ( ciee.. ). Belum lagi kecipratan rezeki dengan akses mulus dan potensi ekonomi yang menyertai kehadiran bandara Kertajati. Berani berkorban untuk Jabar ?
Selat Malaka diganti Selat Sumatera. Apa reaksi Malaysia ?
Jawa Barat menyiapkan juga Kertajati Aerocity, kawasan penyokong bandara internasional Kertajati seluas 3.200 hektar. Ada permukiman, kawasan industri, fasilitas umum, serta zona komersial. Kawasan bandaranya sendiri seluas 1.800 hektar. Raperda Kertajati Aerocity akan disahkan tahun ini. Pelaksanaannya menunggu Perda RTRW Jawa Barat disahkan. Siapkan dirimu warga Jawa Barat ..
Dahulu Asia Tenggara disebut Sundaland. Di peta, ada Dangkalan Sunda, Selat Sunda, pelabuhan Sunda Kelapa. Semua pada nyunda. Tarumanagara adalah kerajaan di tanah Sunda yang melahirkan Sriwijaya dan Majapahit. Ada 800 ikon tradisi di Jabar yang bisa diorbitkan. Harta terpendam yang belum digali dan dikilapkan. Belum lagi, jika Banten dan Jakarta masih bagian Jabar. Kita akan terheran-heran dengan kejayaan masa lalu. Where have you been all this years ?
Jabar revealed. Jika itu terwujud, kita bisa bikin orang Malaysia lebih sering marah ( ketimbang kita selama ini yang dibikin marah oleh klaim2 mereka atas budaya dan wilayah perbatasan kita. Baru kerasa, ya, kalau milik diaku  orang lain, begitu rasanya ). Selat Malaka bisa disebut  Selat Sumatera di iklan pariwisata kita. Dalam dan luar negeri. ( jika mereka masih menggunakan angklung, wayang, dll, dalam iklan pariwisata mereka. Tari Pendet jelas2  dari Bali, bagaimana mungkin bisa di Malaysia ?  Semata ada warga keturunannya di sana ? Orang Jabar saja dimarahi kalau mengaku-aku  Pendet dari Jabar, padahal banyak orang Bali di sini. Lebih banyak  ).
Mereka jadi bisa berempati, kenapa orang Indonesia marah2 ketika seni budayanya diaku negara lain. Betapa sulit, mahal dan lamanya sebuah brand diciptakan. Ratusan bahkan ribuan tahun. Lalu, dicomot begitu saja ?  ( mereka tak mengatakan Pendet dari Bali, Indonesia, pada wisatawan ? ). Marah adalah sense of belonging,kalau saja mereka tahu. Seni tradisi adalah jati diri. Kebanggaan memilikinya, memacu kita bekerja keras dan cerdas untuk kejayaan bangsa dan negara. The most important stuff, dude.Don’t take that away from us, ok ? we can be very, very, very angry and .. dangerous )
Selat Bali diganti Selat Jawa ? Hmm .. ( jika mereka merasa lebih beken dari Jabar, Jawa dan Indonesia. It’s really a big thing, you know ). Kita tahu siapa sebetulnya yang mempopulerkan pulau dewata itu ke mancanegara. Bukankah jika ke luar negeri, kita mestinya memperkenalkan Indonesia. Tidak ada Jabar, Bali, Jakarta, ketika kita cas cis cus dengan bule ( orang asing/ warga negara lain ). Yang ada In-do-ne-si-a. Indonesia disebut 33 kali ( baca : oleh warga 33 provinsi, termasuk Bali ). Imagine that. How famous we are.
So, Bali .. be careful. Jabar  may be the best. Argghhh..rr !! ( aum maung )

Naskah Sunda Kuno - Sejarah Keturunan Timbanganten

Ringkasan isi:
Naskah ini berisi silsilah yang berhubungan dengan keluarga bangsawan Timbanganten dan Bandung. Pada umumnya silsilah tersebut diawali dari nabi Adam AS sebagai manusia pertama; kemudian melalui nabi Muhammad, Ratu Galuh, Ciung Wanara dan Prabu Siliwangi, Raja Padjadjaran. Ratu Galuh dianggap sebagai Raja pertama di Pulau Jawa.

Keluarga Bangsawan Timbanganten muncul sejak Dalem Pasehan menjadi Ratu di Kadaleman Timbanganten. Wilayah Kadaleman Timbanganten sekarang mencakup wilayah Kecamatan Tarogong Kaler dan Kidul, Semarang, Leles dan Kadungora (Cikembulan). Dalem Pasehan adalah keturunan dari Ciung Manarah yang lahir di Mandala Putang. Ia pernah menjadi mertua Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi menikahi anaknya bernama Nyi Mas Ratna Inten Dewata. Sewaktu menjadi Ratu, Dalem Pasehan menyandang gelar Sunan Permana di Putang. Di akhir hayatnya, ia kemudian menjadi pertapa dan "menghilang" (tilem) di Gunung Satria. Sebagai pengganti yang menjadi Ratu adalah anaknya yang bernama Sunan Dayeuh Manggung yang dimakamkan di Dayeuh Manggung. Sunan Dayeuh Manggung wafat dan digantikan anaknya, Sunan Darma Kingkin yang makamnya di Muara Cikamiri. Setelah Sunan Darma Kingkin meninggal, maka Sunan Ranggalawe, putranya yang menggantikan dan beribukota di Korwabokan. Kemudian setelah Sunan Ranggalawe, berturut-turut yang menjadi Ratu di Timbanganten adalah Sunan Kaca (adik Ranggalawe), Sunan Tumenggung Pateon (menantu Sunan Kaca atau putra Sunan Ranggalawe), Sunan Pari (Ipar Sunan Pateon), Sunan Pangadegan (adik Sunan Pateon) yang dimakamkan di Pulau Cangkuang.

Sunan Pangadegan meninggal, maka yang menggantikan adalah Sunan Demang. Sunan Demang sendiri meninggal (dibunuh) di Mataram, dan penggantinya adalah Sunan Sanugiren (kakak Sunan Demang). Selanjutnya yang menggantikan Sunan Sanugiren, putranya Demang Wirakrama. Demang Wirakrama setelah meninggal dimakamkan di Sarsitu dan digantikan oleh putranya, Raden Demang Candradita yang dikemudian hari menjadi penghulu Bandung. Meninggal di Cikembulan dan dimakamkan di Tanjung Kuning. Kakak Raden Demang Candradita, Raden Demang Ardisutanagara menjadi Dalem di Bandung dan setelah meninggal dimakamkan di astana Tenjolaya Timbanganten.

Pengganti Demang Ardisutanagara adalah Dalem Tumenggung Anggadireja, setelah meninggal dikenal dengan sebutan Sunan Gordah, Timbenganten. Pengganti Sunan Gordah, putranya bernama Raden Inderanagara dan bergelar Tumenggung Anggadireja, ketika meninggal dimakamkan di astana Tarik Kolor Bandung. Tumenggung Anggadireja meninggal digantikan putranya, Raden Anggadireja yang bergelar Dalem Adipati Wiratanukusuma, Dalem Adipati Wiratanukusuma meninggal dan dimakamkan di pinggir mesjid Tarik Kolor Bandung. Selanjutnya sebagai pengganti adalah putranya Dalem Dipati Wiratanukusuma.

Dalem Dipati Wiratanukusuma meninggal, maka yang menggantikan Raden Naganagara (putranya) serta bergelar Dipati Wiratanukusuma, tetapi tidak lama karena ia dibunuh Kolonial Belanda. Dipati Wiratanukusuma digantikan putranya, Raden Rangga Kumetir dan bergelar Dalem Adipati. Sewaktu Dalem Adipati meninggal yang menggantikan adalah saudaranya, bernama Raden Kusumadilaga dan dikemudian hari ia bergelar Dalem Adipati Kusumadilaga Bintang. Selanjutnya dalam naskah ini diuraikan mengenai batas-batas wilayah Timbenganten, tanah Cihaur dan tanah ukur Pasir Panjang yang dibatasi Gunung Mandalawangi.


Kondisi Naskah:
Kecamatan : Bayongbong
Nama Pemegang naskah : Toha
Tempat naskah : Desa Cikedokan
Asal naskah : warisan
Ukuran naskah : 21 x 29 cm
Ruang tulisan : 19 x 27 cm
Keadaan naskah : sebagian rusak
Tebal naskah : 32 Halaman
Jumlah baris per halaman : 17 baris
Jumlah baris halaman awal dan akhir : 17 dan 14 baris
Huruf : Arab/Pegon
Ukuran huruf : sedang
Warna tinta : hitam
Bekas pena : agak tajam
Pemakaian tanda baca : ada
Kejelasan tulisan : jelas
Bahan naskah : kertas tidak bergaris
Cap kertas : tidak ada
Warna kertas : kuning kecoklat-coklatan
Keadaan kertas : halus
Cara penulisan : timbal balik
Bentuk karangan : prosa 
 

Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda

Legenda Prabu Siliwangi
Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan  yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.[2]
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)   Ratu Sakti (1543-1551)
4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan PajajaranBerbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7]Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANAKader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.



[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinular” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.
[2] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti halnya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jayadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam  naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang.
[6] Janggawareng merupakan istilah  bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah  dan tidak mampu membendung agresi Banten.


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20120429/prabu-siliwangi-dan-mitos-maung-dalam-masyarakat-sunda.html#ixzz2kbmj1SrL