Di tempat kelahirannya, Cianjur, sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab.
SEJARAH TEMBANG CIANJURAN
Sekar merupakan seni suara dari vokal manusia (janaswara). Sekar dibagi menjadi dua golongan utama yang menjadi dua tiangnya seni suara sunda. Seluruh perbendaharaan seni suara termasuk kedalam dua golongan ini. Kedua golongan besar itu adalah Sekar tandak dan Sekar Wirahma merdeka.
Sekar tandak merupakan jenis lagu yang memiliki irama atau ritme yang tetap (tandak artinya tetap) dalam istilah art barat disebut rhythmical song. Sekar tandak dalam istilah popular disebut kawih. Tembang Cianjuran termasuk kedalam golongan keluarga lagu sekar tandak karena pola lagunya memiliki irama (Wirahma) atau ketukan yang tetap. Sekar tandak biasa dibawakan secara anggana (solo vokal) dan secara rampak sekar (vokal grup). Contoh penyajian sekar tandak misalnya pada Tembang Cianjuran, gending karesmen, panambih pada pupuh, sindhenan serta jenis kakawihan lainnya.
Sekar wirahma merdeka adalah golongan lagu yang tidak memiliki ketukan, berirama bebas tetapi ada aturan panjang-pendek tertentu yang tidak bisa dituliskan dengan sistemtitilaras atau secara pakem dalam karawitan sunda. Penentuan panjang-pendeknya satu nada hanya bisa diajarkan secara lisan verbal atau oral dari seorang guru ke murid. Inilah yang pada dunia seni suara sunda disebut tembang dan di jawa disebut macapat (Natapradja:2003).
Pada kenyataannya walaupun disebut Tembang Cianjuran namun bukan termasuk kedalam jenis sekar wirahma merdeka . Tembang Cianjuran merupakan golongan sekar tandakatau biasa disebut kawih. Penamaan “tembang” hanyalah lazimnya orang sunda menyebut jeniskawih ini. Jadi, jangan terjebak dengan penamaan “tembang” pada Tembang Cianjuran.
- Historis Tembang Cianjuran
Kesenian Tembang Cianjuran telah ada sejak zaman kolonialisme yang datang ke nusantara. Di tempat kelahirannya Cianjur,sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab. Mamaosterbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada mulanya mamaosdinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah (kurnia:2003)
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagupapantunan pun banyak yang dibuat dengan aturan pupuh.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864-1910) kesenian mamaosmulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah di antara tokohmamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaoske kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920-1921 & 1935-1942). Ketika mamaosmenyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan Tembang Cianjuran (kurnia:2003).
Pemain kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran terdiri atas: seorang pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu, dan memngiri lagu baik mamaos mamupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang membawakan panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai anggeran wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi lelemah sore (dasar nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu mamaos cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju taqwa, sinjang (dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang (Galba:2007).
Fungsi kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran adalah sebagai hiburan. Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan rohnya (jatidiri kesenian mamaos cianjuran).
Namun dewasa ini kehebatan dan keindahan dari seni Tembang Cianjuran sudah mulai melemah tergerus arus globalisasi. Hal itu tercermin dari kurangnya nara sumber, tingkat apresiasi masyarakat yang semakin kurang dan enggannya generasi muda untuk mempelajarinya karena dianggap sebagai kuno atau kampungan. Mereka lebih menyukai jenis-jenis kesenian kontemporer.
NILAI-NILAI DALAM RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN
Rumpaka dalam istilah Indonesia merupakan teks dari lagu, atau syair-syair dalam lagu. Dalam rumpaka Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai seperti nasihat dan doa. Nasihat dan doa inidilihat dari sudut komunikasi memiliki kemiripan yakniadanya tujuan pengungkapan yang disampaikan pada pendengar. Nasihat adalah harapansupaya isi pesan rumpaka sampai kepada pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan.
Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya ditembangkan oleh sejumlahpenembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam hal ini juru tembang setuju dengan isi rumpakakemudian ingin menyampaikannya kembali kepada pendengar, termasuk pula rumpaka yang berisi doa. Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari rumpaka. Apabila nasihat dilihat dari segi saling menasihati antar-manusia dan permohonan doa disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah religius. Nasihat merupakan
Hablum Minanas dan Doa merupakan Hablum Minallah. Amanat yang disampaikan melalui
lantunan tembang terasa lebih hidmat baik dirasakan oleh penembang maupun didengar oleh
penikmat.
Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam wilayah religius ini
memiliki kedudukan penting pada Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis awal Tembang
Cianjuran adalah Dalem Pancaniti, seorang taat beragama, bahkan ada yang menganggap ”Alima al-alamah (ulama pandai), mencapai Waliyullah ((Su’eb, 1997: 36). Pernyataan tersebut sejalan
dengan keterangan yang disampaikan oleh Dadan Sukandar bahwa sebelum tahun
enampuluhan Tembang Cianjuran mengusung tentang hal keteladanan. Bukti-bukti itu tersirat
pula pada sebuah pada pupuh Sinom Liwung yang diterima oleh R. Bakang Abubakar dari
gurunya pada tahun 1949 sebagai berikut:
Sinom pamekaring rasa
Rasa Suci kang diwincik
racikan ungkara basa
basa pamekaring budi
budi daya nastiti
nutur galuring luluhur
babaran kaelingan
digending dirakit dangding
komaraning daya sastra Kasundaan
(Ischak, 1988: 63)
Sinom pemekar rasa
yang dibahas, Rasa Suci
jalinan bahasa
bahasa pemekar budi
budi yang tangguh karena kehati-hatian
mengikuti jejak leluhur
tentang keimanan
dijadikan tembang digubah dangding
kewibawaan dari kekuatan sasat r
Kasundaan
Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam pupuh ini ada tanda
yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa Suci mengacu kepada Inti Kedirian manusia yang
dianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga Badan Rohani (Lihat dalam Wawacan
Jaka Ula Jaka Uli). Kata kedua yakni babaran kaelingan ’pembahasan tentang keimanan’.
Pengertian eling ’iman’ dalam naskah-naskah ajaran Teosofi Tasawuf adalah Manunggaling
kaula-Gusti. Menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani’ Pupuh ini berceritera tentang
ajaran keimanan yang menuntun manusia ke arah kebahagiaan lahir dan batin. Namun
apabila dihubungkan dengan judul lagu yakni Liwung, tidak sesuai. Dengan demikian
diperkirakan ada lagu pemakai rumpaka ini sesuai isi. Dilihat dari rumpaka di atas, jelaslah
kekuatan dari kesusastraan Sunda pada suatu masa, dilihat dari segi bobot isinya (kalsum:2007)
rumpaka-rumpaka lain Tembang Cianjuran yang diambil dari rumpaka pupuh yang berisi nasihat serta mengarah pada kebajikan antara lain :
Pucung Degung
Lamun urang boga maksud kudu junun
kahayang jeung prakna
mun sakadar dina hate
eta mubah moal rek aya buktinya. (Sobirin, 1987: 46)
Apabila bercita-cita sesuatu harus tabah
berkeinginan dengan bekerja
apabila sekadar niat di hati
sia-sia tak akan ada hasilnya
Geura bral geura mariang
geura prak naratas jalan
teangan kasugemaan
enggoning keur kumelendang
kumelendang masing yakin
dibarengan kaimanan
yakin kana pamadegan
tangtungan wanda sorangan
tapi poma 2x lain laku kaangkuhan.
Kaangkuhan anu mawa
kana jalan kaambrukan
hirup teh lain sorangan
loba pisan nu marengan
keur urang silih tulungan
lain eukeur pacengkadan
nu taya hartina pisan
nimbulkeun pondok harepan
ilang akal keur ngudag-udagan urang
(Sobirin, 1987: 85)
Silakan berangkatlah
buka jalan
cari kepuasan
selama berkelana
dalam berkelana disertai keyakinan
disertai keimanan
yakin pada pendirian
keyakinan hati nurani
namun janganlah disertai keangkuhan
Keangkuhan membawa
ke jalan kebinasaan
(sadari) hidup tidak sendiri
banyak sekali sesama manusia
untuk saling tolong-menolong
bukan untuk berselisih
yang tak bermanfaat
yang menimbulkan pendek pikiran
kehilangan akal yang akan menyertai kita
Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan kesatuan yang
mendukung pada judul Naratas Jalan ’Membuka Jalan’. Apabila dikaitkan dengan
penggunaan pupuh, ”membuka jalan” pada konteks ini, memiliki makna membuat pijakan
hidup dalam mencari kebahagiaan untuk diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks
Naratas Jalan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani
kehidupan.Rumpaka ini mengemukakan bahwa hidup dengan sesama untuk saling tolong-menolongbukan untuk berselisih. Teks hipogram dalam pupuh Pucung seperti berikut: Utamana jalmakudu rea batur, keur silih tulungan, silih asih silih bere, budi akal lantaran ti pada jalma.
’Yang paling utama orang harus memiliki kawan banyak, untuk saling menolong, saling
memberi, budi dan akal melalui sesama manusia.’(Kalsum:2007).
Rumpaka-rumpaka diatas merupakan sebagian kecil contoh dari Tembang Cianjuran yang selalu memiliki intisari kebajiakan, nasihat, doa, dan mengajak manusia untuk mencapai kemuliaan. Selain diatas ada pula cirebonan ‘bermakna manusia harus sigap dalam melakukan kebaikan’, ceurik abdi’menceritakan bahwa di dunia semua hal selalu berpasangan’, sinom bungur’mengingatkan pada manusia dalam berkehidupan tidak bisa sewenang-wenang serta egois’, pangrawit’ dalam berkehidupan manusia harus tahu mana yang benar dan yang salah serta selalu menjaga diri’ dan masih banyak rumpaka pupuh lainnya.
Sudah dapat dipastikan bahwa Tembang Cianjuran sangat mengarah dan mengajarkan manusia sebagai mahkluk yang bermoral. Membimbing kepada kebaikan, saling mendoakan antar sesama, menjaga kelestarian alam, dan permohonan kepada sang pencipta. Hal ini tentunya jarang sekali ditemukan pada teks lagu populer zaman sekarang. Teks dalam gubahan lagu populer kebanyakan menceritakan mengenai realita percintaan anak remaja, putus cinta, perselingkuhan, pengorbanan cinta, pacaran, dan segala sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan remaja zaman sekarang.
Pertunjukan
Sebenarnya yayaya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.
Lagu-lagu dalam wanda papantunan di antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup,Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, dsb. Sementara dalam wanda jejemplangan di antaranya terdiri dariJemplang Panganten, Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung dan sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di antaranya: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan, Selabintana, Soropongan, dsb.
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan atau acara adat.
Sumber rujukan